Ode untuk Hari-Hari Biasa
Pada mau ke mana hari-hari biasa
buku-buku masih terbuka di meja
dan layar-layar monitor masih menyala
rol-rol sinema tetap memutar adegan
demi adegan
peperangan maupun percintaan
tak ada beda
aku tidak meninggalkan tempatku tidak ke mana-mana
barangkali hanya aku perlu mengusap pinggir keningmu
merasakan kegundahan berumur panjang
di situ
sekalipun dari langit hari-harimu
kurasakan kengerian yang juga sama:
kebosanan jam-jam pergi dan jam-jam pulang,
jam-jam pagi dan jam-jam petang
jadi, biarkan aku meletakkan telapak tanganku
di punggung tanganmu
jadi, mari kurapikan rambutmu yang menyembul ke pipi
kelaikan lagi mesra kepalamu di bahuku, sini!
Pada berdiam di mana hari-hari biasa
ada apa mata yang tertusuk kelam malam
beri aku pagi yang mengantarkanku padamu
pagi yang menjauhkanku dari hari-hari yang begitu
begitu itu,
pada kursi yang itu
pada meja yang itu:
pada buku-buku yang masih terbuka
rol-rol sinema yang masih berputar
layar pada monitor
yang tetap menyala.
—
Menjauhlah dari Matamu
Aku merindukanmu tapi
selalu ingin menghindarimu
aku tidak mau tertangkap matamu
sedang mengira-ngira suatu rencana
menenggelamkan sinar bulan
melalui celah di pangkal lengan
menanggalkan seluruh engsel pada pintu
dan membiarkan segala yang lama terkunci
menghambur
dari gelap rahasia.
Aku mungkin merindukanmu
tapi tidak kutinggalkan kursiku
entah apa yang menahanku ke sana
menemuimu dan bermimpi asing
tentang melelehnya tata surya
saat aku baru saja kembali dari tidur
aku menemukan bumi jadi segelap ini
aku cari-cari kamu di bawah dipan, di dasar cawan
di belakang lemari baju, pada sangkutan palang pintu
di setiap sudut yang masih menyisakan terang waktu
aku cari-cari kamu di mana-mana dari jagat raya
tapi kau mungkin telah jadi ledakan cahaya.
—
Gelembung-Gelembung Sabun
Aku tak sedang memandang bumi yang lain
selain yang terhampar di depanku kini
mungkin aku merindukanmu tapi mungkin juga tidak
perasaanku meletup di udara lapang bagai meletup
gelembung-gelembung sabun di lingkar jari anak-anak
aku tak tegah maupun saru datang mimpi-mimpi
sebab aku tak sedang terjangkiti wabah kenangan
perasaanku padamu hanya sisa-sisa hari lalu yang
gampang terhapus seperti pasir kering di licin batu
akan datang masa di mana rintik-gerimis jadi lebat-hujan
menghanyutkan segala yang patut hanyut dari harapan.
Aku tak sedang menengadah pada langit yang lain
selain yang kini tengah mengungkung-menyungkupku
dengan tabir putih gumpalan-gumpalan mega–
pantulan dari buih laut yang mengambang kemari
ke dalam sajak ini
ke dalam mata yang mengajariku untuk percaya
kalau cinta, atau semacamnya, tak lebih dari
ruap-busa!
DEDDY ARSYA, Lahir dan menghabiskan masa kecil di Bayang, pantai barat Sumatera. Bukunya Khotbah si Bisu terpilih sebagai Buku Sastra Terbaik 2019 versi majalah TEMPO.