Sore di Muara Jangkok
Di muara Jangkok, adakalanya sore lebih ramai.
Sore pancaroba dengan amuk ombak
juga laut yang berwarna latte.
Remaja-remaja tanggung yang lebih beruntung,
bermain selancar. Celana pudar mereka –board shorts
Ripcurl kw– sedikit melorot ke bawah pinggang,
nyaris kalah ditarik-tarik ombak berang.
Tapi tak ada yang lebih menantang dari anak-anak kampung.
Mereka mengapung-senang di atas papan-papan styrofoam,
seolah laut dan maut selamanya akan mafhum.
Di muara Jangkok, ada kalanya sore lebih santai.
Seorang pemancing duduk tenang di atas batu grip,
menunggu joran bergetar dan laut yang karib
mengirim bisikan gaib: bahwa ikan-ikan akan
teperdaya lagi kali ini, bahwa kail barangkali
nasib celaka yang akan mengantar mereka
ke panas kuali.
Ampenan, 3 Februari 2022
—
Kota Ini, Lanskap Bandar Tua
Kota ini, lanskap bandar tua setiap hari.
Bibir pantai abrasi, kapal pengangkut minyak, kerak
muntahan, tumpahan kopi dan mi instan, juga sedikit amoniak
yang menyusup ke hidung buntu anakku.
Dan di sisi tanggul, sisa retakan gempa terakhir,
lapak-lapak kaki lima menunggu harapan yang rentan
sisa kunjungan wisatawan.
Pada jam-jam rawan, jam-jam sepi sepanjang siang
yang mengukus panas di kepalaku, sering seorang pemancing
masih bertahan di pesisir –melemparkan kekosongan
pada laut yang diam-diam membentangkan kecemasan.
Kota ini, lanskap bandar tua setiap hari.
Menara suar samar dalam ingatan, tegak memandang
dengan nelangsa waktu yang tak pernah datang,
waktu yang tak bisa direngkuh
waktu yang tak bisa ditempuh.
Ampenan, 23 Desember 2021
—
Minggu Pagi di Pantai Meninting
Minggu pagi mengendus amis-segar pasar ikan,
selepas kompleks Pemakaman Bintaro yang tua dan damai,
sebuah jembatan menjangkau perbatasan:
dari Ampenan Utara ke jalur Senggigi,
dari tahun-tahun ramai hingga mati suri.
Minggu pagi menyisir bantaran sungai,
sepetak kebun kelapa, jalan kecil berbatu dan terasing,
juga sepeda yang terayap-rayap ke Pantai Meninting.
Tapi sebuah pantai tetaplah segar. Pantai kecil yang hidup
dari kegembiraan kecil warga biasa kota.
Anak-anak mandi, orang-orang tua duduk membuka
air minum kemasan, menunggu pop mi matang –atau segala
yang cepat saji untuk Minggu pagi yang singkat,
waktu yang tepat melupakan tenggat.
Meninting, 3 Oktober 2021
—
Apa Yang Perlu Dikenang dari Tanjung Karang
Apa yang perlu dikenang dari Tanjung Karang?
Sebuah bandar telah lama hilang dalam ingatan
orang-orang kota.
Siapa lagi yang peduli, para saudagar manca
pernah membangun istana pundi-pundi?
Mereka bersekutu dengan para penguasa
dan panji-panjinya berkibar-kibar
di pesisir muara Sungai Ancar.
Apa yang perlu diingat dari Tanjung Karang,
barangkali sengak-basah sendawa dari sebuah meja:
kafe dangdut yang sesekali masih berdendang
dalam kepalamu yang meriang.
Lalu sebuah sore memerangkapmu. Sore yang lengang,
sore yang asin dan lekas manis dalam sergapan mata
anakmu; mata yang tenang memandang apa saja:
sampan-sampan nelayan, bulir-bulir pasir yang getir,
jejak para pemungut sampah, suara-suara kalut
mereka yang gagal melaut.
Apa yang perlu dikenang dari Tanjung Karang,
barangkali semua yang hilang –segala tilas
yang hanya sesekali melintas.
Ampenan, 1 September 2021
—
TJAK S. PARLAN
LAHIR di Banyuwangi, Jawa Timur. Menulis cerita pendek, puisi, esai, resensi, sejumlah feature perjalanan, dan novel. Sejumlah bukunya yang telah terbit, antara lain, Kota yang Berumur Panjang (Basabasi, 2017), Berlabuh di Bumi Sikerei (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2019), Sebuah Rumah di Bawah Menara (Rua Aksara, 2020), dan Cinta Tak Pernah Fanatik (Rua Aksara, 2021). Saat ini bermukim di Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.