Sore di Muara Jangkok

17 April 2022, 11:05:36 WIB

Sore di Muara Jangkok

Di muara Jangkok, adakalanya sore lebih ramai.

Sore pancaroba dengan amuk ombak

juga laut yang berwarna latte.

Remaja-remaja tanggung yang lebih beruntung,

bermain selancar. Celana pudar mereka –board shorts

Ripcurl kw– sedikit melorot ke bawah pinggang,

nyaris kalah ditarik-tarik ombak berang.

Tapi tak ada yang lebih menantang dari anak-anak kampung.

Mereka mengapung-senang di atas papan-papan styrofoam,

seolah laut dan maut selamanya akan mafhum.

Di muara Jangkok, ada kalanya sore lebih santai.

Seorang pemancing duduk tenang di atas batu grip,

menunggu joran bergetar dan laut yang karib

mengirim bisikan gaib: bahwa ikan-ikan akan

teperdaya lagi kali ini, bahwa kail barangkali

nasib celaka yang akan mengantar mereka

ke panas kuali.

Ampenan, 3 Februari 2022

Kota Ini, Lanskap Bandar Tua

Kota ini, lanskap bandar tua setiap hari.

Bibir pantai abrasi, kapal pengangkut minyak, kerak

muntahan, tumpahan kopi dan mi instan, juga sedikit amoniak

yang menyusup ke hidung buntu anakku.

Dan di sisi tanggul, sisa retakan gempa terakhir,

lapak-lapak kaki lima menunggu harapan yang rentan

sisa kunjungan wisatawan.

Pada jam-jam rawan, jam-jam sepi sepanjang siang

yang mengukus panas di kepalaku, sering seorang pemancing

masih bertahan di pesisir –melemparkan kekosongan

pada laut yang diam-diam membentangkan kecemasan.

Kota ini, lanskap bandar tua setiap hari.

Menara suar samar dalam ingatan, tegak memandang

dengan nelangsa waktu yang tak pernah datang,

waktu yang tak bisa direngkuh

waktu yang tak bisa ditempuh.

Ampenan, 23 Desember 2021

Minggu Pagi di Pantai Meninting

Minggu pagi mengendus amis-segar pasar ikan,

selepas kompleks Pemakaman Bintaro yang tua dan damai,

sebuah jembatan menjangkau perbatasan:

dari Ampenan Utara ke jalur Senggigi,

dari tahun-tahun ramai hingga mati suri.

Minggu pagi menyisir bantaran sungai,

sepetak kebun kelapa, jalan kecil berbatu dan terasing,

juga sepeda yang terayap-rayap ke Pantai Meninting.

Tapi sebuah pantai tetaplah segar. Pantai kecil yang hidup

dari kegembiraan kecil warga biasa kota.

Anak-anak mandi, orang-orang tua duduk membuka

air minum kemasan, menunggu pop mi matang –atau segala

yang cepat saji untuk Minggu pagi yang singkat,

waktu yang tepat melupakan tenggat.

Meninting, 3 Oktober 2021

Apa Yang Perlu Dikenang dari Tanjung Karang

Apa yang perlu dikenang dari Tanjung Karang?

Sebuah bandar telah lama hilang dalam ingatan

orang-orang kota.

Siapa lagi yang peduli, para saudagar manca

pernah membangun istana pundi-pundi?

Mereka bersekutu dengan para penguasa

dan panji-panjinya berkibar-kibar

di pesisir muara Sungai Ancar.

Apa yang perlu diingat dari Tanjung Karang,

barangkali sengak-basah sendawa dari sebuah meja:

kafe dangdut yang sesekali masih berdendang

dalam kepalamu yang meriang.

Lalu sebuah sore memerangkapmu. Sore yang lengang,

sore yang asin dan lekas manis dalam sergapan mata

anakmu; mata yang tenang memandang apa saja:

sampan-sampan nelayan, bulir-bulir pasir yang getir,

jejak para pemungut sampah, suara-suara kalut

mereka yang gagal melaut.

Apa yang perlu dikenang dari Tanjung Karang,

barangkali semua yang hilang –segala tilas

yang hanya sesekali melintas.

Ampenan, 1 September 2021

TJAK S. PARLAN

LAHIR di Banyuwangi, Jawa Timur. Menulis cerita pendek, puisi, esai, resensi, sejumlah feature perjalanan, dan novel. Sejumlah bukunya yang telah terbit, antara lain, Kota yang Berumur Panjang (Basabasi, 2017), Berlabuh di Bumi Sikerei (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2019), Sebuah Rumah di Bawah Menara (Rua Aksara, 2020), dan Cinta Tak Pernah Fanatik (Rua Aksara, 2021). Saat ini bermukim di Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Editor : Ilham Safutra

Saksikan video menarik berikut ini:


Close Ads