Syahdan Sebuah Dusun
1.
Bentang halimun
pada jam-jam lemah,
mulai terkuak satu demi satu.
Berikan rusuk terbaik
dari dia yang melayangkan seekor merpati
ke langit. Di hutan dan pepadang
di kemudian hari terbaca:
zaman dari zaman,
anak-anak waktu dari sungai waktu,
kenangan dan esok,
pemandian suci dan pertunjukkan mimpi,
pengembara pemanggul taklimat
ke musim petik. Orang-orang di semenanjung
menaikkan bahtera ke laut zaman,
membawa sejarah dan silsilah.
Negeri laut dan daratan,
pulau-pulau labuhan.
2.
Dan di tanah rendah, seorang peniup seruling
dengan lengang ladang
membangun senandung gunung.
Tibalah masa kecapi murung
mengulur senar panjang
ke khidmat relung.
Yang menanyakan perihal pagi,
perlahan melucut ladam.
Damai bersahutan di tempat sederhana
di mana lelaki riang menamatkan
jejak juang penyuluh suci.
Lelaki dari kampung abad dua puluh satu.
2019
—
Para Pemancing di Malam Buta
Para pemancing di malam buta,
bila kelak mereka hidup
dan sungai-sungai berair sepanjang musim:
seakan dua manusia
ditempuhkan nasib dalam kelam.
Mereka berumah di bukit,
di pinggiran kota yang redup,
atau mereka mendapati keluasan alam
adalah atap teduh; mimpi-mimpinya berkeliaran
di bawah permukaan riak hari-hari.
Bak telah ditentukan umur malam
maka tali-temali mencelup diam,
kesabaran ganjil pencari
yang mengentak-entak saat
sekelebat burung terbang menembus pekat.
Aku tidak lagi memiliki waktu
di mana matahari lindap dan bayang hilang,
segala menggantung di bawah rembulan:
tapak-tapak asing ini, perjalanan singkat ini
bersama kecemasan akan fajar
—bahwa sepanjang malam buta berakhir
kail-kail pun terangkat, napas-napas terembus
kantuk-kantuk kian merunduk,
dan tertampung mata kebeningan
dalam keranjang nasibnya.
2018
—
Suatu Hari Hujan Turun dengan Rumit
Suatu hari hujan turun dengan rumit.
Aku tidak beranjak dari pembaringan,
bahkan hari pun tidak beranjak dari keremangan.
Perang dari negeri jauh
bak melontarkan amuk di ruang ini.
Kita yang memilih berdiam,
di dalam kabin kedamaian,
melupakan potret buram masa depan.
Hujan timbul dalam ramalan udara,
dalam kerosak dedaunan haru
dan ia berangkat dari ketinggian
seakan serangkum turbulensi sebuah pesawat
terjebak di angkasa. Kita yang berumah di tanah,
menghentikan laju detik dari detak hari sejenak.
Terbangun, betapa senja berpijar kabut
sebatang pohon jeruk nipis terpekur syahdu.
2018
—
RUDIANA ADE GINANJAR, Lahir di Cilacap, 21 Maret 1985. Manuskrip antologi puisi tunggalnya, antara lain, Salam Bumi (2019). Bergabung di Komunitas Sastra ’’Kutub”, Jogjakarta.