Sebelum Hilang
Sebelum pergi dia sempat bilang.
’’Kau tak usah heran, ya. Ada orang-
orang yang dilahirkan ke dunia ini
hanya khusus untuk berlagak, makan
enak, beranak, dan lalu berak.”
Arafat Nur Menghilang!
’’Arafat Nur telah hilang!” pekik seseorang
kalang kabut sendiri. ’’Sudah berbulan-bulan
dia pergi dan tidak pulang-pulang!”
Bertahun-tahun kemudian Arafat Nur tidak
juga kembali. Dia pergi mencari kekasihnya di
dunia lain. Kabarnya, dia tersesat di jalan puisi;
jalan panjang yang berakhir di tempat sunyi.
Tersesat Sendirian
Dia kebingungan. Arah jalan mana pun
yang ditempuhnya, semua menuju kuburan.
Dia Hilang di Tempat Rahasia
Rupanya dia menempuh perjalanan rahasia
ke tempat paling rahasia. Perjalanan yang
menyesatkannya, ditempuhnya dengan sakit
dan siksa, melukai seluruh tubuh dan jiwanya.
Dia tiba juga di rumah yang tidak pernah
ada di dunia. Tubuhnya lunglai tak berdaya,
tangannya gemetar mengetuk-ngetuk pintu.
Itu pintu rumah Tuhan. Dari dalam terdengar
suara. ’’Masuklah, Arafat Nur. Kau butuh tidur
beberapa lama. Kerandamu sudah disiapkan.”
Dia Telah Menjadi Sunyi
Di ujung jalan situ sosoknya hanyalah debu.
Arafat Nur hanyalah setitik debu yang diterpa
angin. Di selembar daun itu ada embun dingin;
air matanya yang tertinggal sepi untuk bumi.
Sekarang Dia Telah Mati
Kau tak perlu menaruh hati, menaruh dendam,
dan menaruh benci. Arafat Nur sudah lama mati,
sekalipun mayatnya belum dikuburkan. Sekarang
kau bisa melihat betapa menyedihkan dia. Jasadnya
terkapar mengerikan dalam puisi usang.
—
ARAFAT NUR, Penulis dan dosen STKIP Ponorogo