Kanjuruhan
Apa yang bisa kita pahami
dari malam yang runtuh dan patah
mungkin esoknya benih pecah
dan lusa tunas mengintip
di pagi terbit
Seolah bisa kita duga
bahwa rasa sakit akan menyebar
maka sejak itu, di pucuk-pucuk tiang
duka terus berkibar
tiap kali peluit melengking panjang
sebelum pertandingan
Dan setiap yang berhenti dari lewat
memandang hening ke arah yang hancur itu
akan bergumam: ’’yang lebur telah ditinggikan
yang remang telah disucikan”
Lalu dari arah lain, bersijingkat angin
berulang datang, di awal petang
menyamarkan paras cemas
dengan harum kembang-kembang
Mengingatkan paras para orang tua
saat melepas lari anak-anaknya
dengan peluh tak henti mengitari tanah lapang
Ampenan, Oktober 2022
—
Di Atas Kapal Mutiara Timur 1
1/
Menuju ke timur
hamparan laut, burung laut
dan pagi yang cerlang
kibaran bendera di pucuk tiang
di atas buritan
serupa kibaran kain jarit ibu
di sana tersimpan; warna darah dan air ketuban
saat rembes memberi rasa mulas, cemas
dan nyeri yang membelah
sebelum tangis pertamaku pecah
2/
Melewati malam
laut serupa gurun luas hitam
menggentarkan jantung para kafilah
dari delapan arah
selepas ransum malam
kuambil tisu dari dalam tasku
kuusap sisa makanan di sudut mulut
dan kotoran di mata kiri anakku
mata yang sejernih air sungai
di belakang rumah buyutnya itu
menampung gelombang pertanyaan
: teduh, kukuh, meninggi, melandai
menyegarkan peluh, menyabarkan perangai
3/
Memandang dari laut
langit seperti lengkung kerudung
membentang memberi naung
doa-doa menempuh haribaan
dan segala puji, derita dan kesedihan
laut yang menyeberangkan
Ampenan, Juni–Oktober 2022
—
Agustus
Agustus tiba memekarkan
kuncup oval kemuning
ketika pagi mengantar
sisa bediding
Di dalam kamar, seseorang menyeret langkah
menyentuh sakelar
memadamkan lampu luar
lantas bergumam lirih: ’’cuaca begini, seperti anak
yang tengah rewel atau letih”
Ia teringat anaknya yang gemar dibacakan buku
tiap hendak tidur
sambil menguap sang anak bertanya
’’apakah penyair juga mencatat hal-hal yang tak ia dengar?”
Sebelum sempat ia menjawab, sang anak miring
ke kiri, terlelap
Tentu, itu dua puluh tahun lalu
kini dengan sabit kecil di tangan kirinya
dibukanya pintu samping
dingin seketika menyergap
Dimasukinya sepetak pekarangan
sambil jongkok ia bersihkan dengan tangan
dan sabitnya: rumput teki, lateng, meniran, bandotan
ia singkirkan pula daun-daun kering
yang semalam dilepas angin
di atas segundukan tanah yang memendam
induk dan dua anak kucing
yang mati setelah lima hari muntah dan diare
Setengah depa darinya, di ujung gundukan itu
sebatang kemuning tegar rimbun
menjatuhkan wangi bertahun-tahun
Ampenan, Agustus–Oktober 2022
—
LAILATUL KIPTIYAH
Lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur. Bermukim di Ampenan, Mataram, NTB. Buku puisinya yang telah terbit, Perginya Seekor Burung (Halindo-Akarpohon, 2020), masuk lima buku puisi pilihan Anugerah Hari Puisi Indonesia 2020.