MENYADARI SEJARAH
Lagu pun berpetang pada segugus pohon siwalan. Kampung pun kelam. Sebuah bukit yang rendah hati membiarkan takdir berjalan seakan ini bukan main-main. Memang tak ada main-main buktinya burung-burung terbang rendah sambil menyanyikan angin yang lelah. Ini memang bukan Ukraina yang luluh lantak. Budaya memerlukan kesalingan hati yang bukan selingkuh politik dari bisik busuk yang mesum itu. Tenangmu mungkin menangmu, karenanya kekhawatiran adalah jiwa yang ragu untuk maju.
Kita belajar pada sejarah, kakek moyang kita ada yang suka adu domba. Tapi ada juga yang ngeri melihat darah. Dari sini kita sadar ada warna merah yang indah pada mawar yang merekah. Embun mengasuhnya setiap pagi dan kita bahagia menjaga dahaga matahari. Kita berdiri, sebenarnya sedang bersujud. Subhanallah…
—
SENJA DARI SUY
Aku mencari Monas untuk tahu ubun langit yang sebenarnya karena bintang senja tak mampu merumuskannya.
Tapi di sela cericit burung di udara tiba-tiba senyummu mengharu biru pada langit yang memihak pagi.
Kenapa senyummu meneteskan kecewa dan air mata?
Sungguh tak kuduga saat itu anak makin mengerti siapa ayahnya, sehingga gemertak gigimu yang mengunyah tanda tanya yang lahir dari pasal-pasal yang mengukuhkan ketergantungan
Tapi kau anakku yang punya cinta yang aneh, seperti merah senja yang dibikin lebih meriah dari cahaya fajar
Hidup memang perlu tunas-tunas tak terduga, karena senyum dan hati tak boleh dibiarkan punya sumbu yang berbeda.
Saat itu kau menyapaku dengan bahasa senja Jakarta yang menyala
—
UJAR UNTUK LINDA
Berpesan, bukan berkesan. Antara kelindan warna dengan citraan pandan ada haus yang sangat tua.
Tapi biarkan azan bergema, ada sejenis surga yang menolak basa-basi, karena itu aku lebih pas dengan bisik-bisik bisu.
Bisik-bisiklah kau, bisu-bisulah kamu dan aku siap untuk gemetar dalam arus samudra yang liar.
Aku mau menghitung mulai yang bungsu sampai yang sulung tapi hati jernih yang siap beruntung
Fajar
Kerbau
Sengangar dan bunga yang menyimpan embun membaca seribu harapan
Bahwa tak ada keringat yang hambar
Selagi rumput tak kalah tajam dari pedang
Kita akan percaya pada sepatu setelah kebakaran ada lelatu
Tanda bahwa hidup ada madunya setelah kita merasakan pahitnya empedu
—
SAJAK UNTUK ISBEDY
Padaku kau minta minyak goreng itu seakan aku punya sumurnya, tapi kelepak burung-burung yang tak beralamat itu seakan tidak mengerti isyarat matahari dan bulan. Aku sengaja mengambil jarak denganmu bukan untuk menutupi ketidakberdayaan, tapi kita sedang berhadapan dengan kekuatan yang hakikatnya juga ketidakmampuan. Makanya tak salah kau memanggil Tuhan dan puisimu tetap kesaksian. Angin yang kaupanggil hanya mampu menjelma banjir. Lagu-lagu yang kita nyanyikan kemudian hanya menjelma erangan lembah di bawah cadas andesit yang meminta dijadikan patung sapi karapan sedang lari kencang menuju cakrawala yang bukan entah. Aku tak bisa memenuhi permintaanmu karena engkau bukan pengamen jalanan. Rambutmu yang gimbal masih menyiratkan keperkasaan. Karena itu peraslah otakmu, peraslah jiwamu sampai mengucur keringat yang sekejap akan menjelma dambaan orang-orang yang punya kuali tapi isinya kekosongan semata. Kau jangan marah karena marah hanya menambah tinggi gelombang masalah.
—
D. ZAWAWI IMRON
Budayawan Madura. Tinggal di Batang-Batang, Madura.