Sejak 2016, saat menggelar pameran seni rupa – sketsa di kertas– untuk kali pertama di Jogjakarta, Goenawan Mohamad tak lagi hanya dikenal sebagai pesastra, penulis, dan mantan pemimpin redaksi TEMPO. Tapi, juga
perupa yang terbilang intens dan produktif menggambar, melukis, dan berpameran seni rupa.
SETELAH tujuh tahun, perupa kelahiran Batang, Jawa Tengah, itu telah melahirkan sekira 500-an karya kertas, 100-an lebih lukisan di kanvas, dan 200-an karya kolaborasi yang telah diperhelatkan dalam 10 ekshibisi solo (11 ruang seteleng di Jakarta, Jogjakarta, Semarang, dan Magelang), 11 pameran grup (di Malaysia, Jakarta, Jogjakarta, Semarang, Magelang, dan Bali), dan 2 pergelaran duo (dengan perupa Hanafi dalam 57 x 76 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, dan Komaneka Art Gallery, Bali).
Itu semua membuktikan bahwa berseni rupa bukan sekadar hobi di waktu senggang seorang elite kebudayaan ternama. Melainkan ikhtiar Goenawan Mohamad untuk berdaya cipta dengan sketsa, gambar, dan lukisan secara saksama dalam tempo seasyikasyiknya guna menikmati dan merayakan yang tak terduga, yaitu keindahan.
"The beauty is the celebration and the joy of the unexpected,” kata Goenawan Mohamad dalam sebuah perbincangan dengan Devy Ferdianto, "master printer” Devfto Printmaking Institute, dan Richard Horstman, penulis Australia, di Ubud akhir Desember lalu.
Kini setelah lebih kurang sepuluh bulan, mulai pertengahan 2022 sampai awal 2023, menekuni seni grafis di Devfto Printmaking Institute, Ubud, Bali, Goenawan Mohamad pun berpameran tunggal untuk kali kesebelas. Pada pamerannya kali ini, perupa kelahiran 29 Juli 1941 itu mengusung 35 karya intaglio (cetak dalam) dan litografi (cetak datar) berukuran 44 x 58,5 sentimeter, 40 x 30 sentimeter, dan 20 x 30 sentimeter dalam format artist book serta lepasan.

-
Pameran kali ini berjudul Kitab Hewan dan bertempat di Sika Gallery, Ubud, Bali, mulai 3 Februari–5 Maret mendatang.
Kitab Hewan adalah artist book kedua yang dibikin Goenawan Mohamad dalam residensinya di Devfto Printmaking Institute. Sebelumnya, dia membuat dengan teknik cetak saring ”Kitab Kurawa” berisi tiga teks dan potret Bhisma, Karna, dan Gandari. Kitab Hewan berisi lima belas karya intaglio berpokok perupaan aneka rupa dan gaya hewan, antara lain badak, monyet, dan kodok, serta sebuah lanskap di bawah awan dan sepetak rumah di Bromo.
Selain itu, Goenawan Mohamad mengusung 20 karya intaglio dan litografi berpokok perupaan potret binatang dan orang-orang yang unik. Seperti Sang Ilmuwan, Bhisma Swarga, Badut, Zhung Zhou di Bukit, dan Seorang Pemabuk di Sudut Sanur.
Itu semua meyakinkan saya bahwa hewan adalah pokok perupaan favorit Goenawan Mohamad. Atau terbanyak di antara pokok perupaan lainnya, seperti alam-benda dan lanskap, dalam karya-karya seni rupa Goenawan Mohamad
sepanjang tujuh tahun terakhir. Mengapa hewan?
’’Saya menyimpan rasa bersalah di masa lalu dengan binatang. Suatu ketika saya menembak mati seekor burung. Saya gegabah melakukannya dan karena itu saya menyesal,” ungkap Goenawan Mohamad.
Lantas, apa yang memanggil Goenawan Mohamad berseni grafis? ’’Ketika sejak jadi artist in residence di Devfto Institute untuk belajar mempraktikkan teknik etching,” kata Goenawan Mohamad. ’’Saya merasa menemukan seni
rupa yang saya sukai: prosesnya akrab dalam ’mendengarkan’ tubuh dengan jari dan tangan yang berusaha pas memegang jarum dan pisau untuk memproduksi gambar di papan logam,” lanjut Goenawan Mohamad.
Oleh karena itu, kata Goenawan Mohamad, ’’Intaglio dan litografi lebih dekat dengan drawing, dengan kejujuran, dengan ketidakmampuan sok pintar, dan dengan ketidakterdugaan.”
Atas ’’panggilan” itu, penulis Catatan Pinggir nan legendaris itu berkeinginan membangun kesukaan peminat seni rupa Indonesia kepada intaglio dan litografi, jenis yang praktis tergeser dari lembaga pendidikan dan tak menghebohkan "pasar." (*)
*) WAHYUDIN, Kurator seni rupa, tinggal di Jogjakarta