Memiliki tanah luas dengan muka lahan lebar merupakan salah satu kriteria yang cocok untuk gaya arsitektur kolonial. Principal architect arcade_design Eddy Shen Sutedja menggunakan langgam art deco –yang masuk pada era arsitektur kolonial– untuk hunian yang berlokasi di Bandung ini.
—
FASAD Casa HMTan tampil kukuh dengan dua pilar besar di depan pintu utama, mengikuti gaya arsitektur art deco. Namun, jika diperhatikan lagi, unsur modern juga tampak dari hunian itu. Saat berdiskusi, pemilik rumah menginginkan ada sentuhan kekinian. Salah satunya, area balkon menggunakan pagar dengan material besi.
Eddy menyatakan bahwa balkon pada arsitektur kolonial umumnya menggunakan dinding dari bata atau bahan sejenisnya. Ketika besi mulai masuk, bata disubstitusi besi. ’’Ini merupakan unsur teknologi yang masuk. Dulu pada masa kolonial, teknologi pembangunannya baru bisa menggunakan dinding,’’ ujarnya.
Pemilihan warna pun demikian. Jika warna-warna arsitektur bergaya kolonial banyak didominasi putih, kali ini ada sentuhan cokelat gelap pada jendela dan pintu. ’’Itu atas permintaan owner Casa HMTan yang tak ingin rumahnya seperti bangunan lama di Bandung,’’ beber Eddy.
Lalu, untuk pagarnya sendiri, Eddy memadukan dinding beton dengan besi. Garis-garis pada pagar besi tidak hanya bertujuan mempercantik rumah, tetapi sekaligus menonjolkan langgam art deco.
Garis yang membentuk pola geometris itu merupakan salah satu ciri dari style art deco. Unsur geometris juga terlihat pada susunan jendela dan pintu. Ada banyak jendela di rumah ini yang didesain simetris, membentuk pola berulang yang beraturan. Furnitur dan beragam elemen interior pun menerapkan pola garis yang simetris.
Eddy menuturkan, bangunan kolonial di Indonesia mengalami banyak penyesuaian. Berada di daerah tropis membuat orang-orang Eropa yang waktu itu mendiami Indonesia merasa kegerahan. Untuk itu, muncullah tritisan atau perpanjangan atap utama. Itu bertujuan agar sinar matahari maupun air hujan tidak langsung masuk ke bangunan.
Bicara soal atap, Casa HMTan pun mengadopsi penyesuaian bangunan kolonial di Indonesia. Pada langgam art deco, biasanya atapnya datar. Sementara itu, bangunan ini mengadopsi bentuk atap limasan.
Selain mengandalkan tritisan, Eddy memilih memundurkan sedikit bangunan agar sinar matahari tidak langsung masuk ke ruangan. Bangunan yang dimundurkan menjorok ke dalam itu terlihat pada taman belakang. Di bagian atas, ruangan yang menghadap kebun akan memiliki balkon. Sementara itu, ruangan di bawah balkon bisa digunakan sebagai teras.
Pada area dalam, dari pintu utama langsung disambut ruangan besar tanpa sekat yang merupakan ruang keluarga. Ruangan sentral tersebut tidak bersekat atap, langsung ke ceiling lantai 2. Dengan begitu, sirkulasi udara bisa dimaksimalkan. Selain itu, interaksi antara penghuni di ruang keluarga dan ruangan atas lebih mudah.
—
HIGHLIGHTS
- BANGUNAN DIMUNDURKAN

Memiliki banyak bukaan lebar membantu sirkulasi sinar matahari dan udara lebih lancar. Namun, akan terasa terik di musim kemarau. Maka, Eddy memundurkan bangunan agar sinar matahari tidak langsung masuk ke ruangan. Dan udara yang mengalir ke dalam lebih sejuk.
- HEMAT LISTRIK DAN AC

Banyaknya jendela kaca menghasilkan ruangan dalam yang terang sehingga mengurangi penggunaan listrik saat siang. Begitu pula penggunaan pendingin udara bisa diminimalkan.
- PINTU RANGKAP

Akses utama Casa HMTan menggunakan pintu rangkap. Tujuannya, membiarkan udara tetap masuk saat pintu bagian dalam dibuka, tetapi privasi tetap terjaga. Daun pintu bagian depan terbuat dari kayu. Lalu, daun pintu bagian dalam didominasi material kaca dengan elemen garis yang kental gaya art deco.
- ELEMEN GARIS
Aksen garis dekoratif ditambahkan pada lantai granit, seperti yang terlihat pada area utama, untuk mempertahankan unsur art deco. Sekaligus agar tidak terkesan plain.
—
HOME’S FACTS
Casa HMTan
- Arsitek: Eddy Shen Sutedja (arcade_design)
- Luas tanah: 846,7 meter persegi
- Luas bangunan: 868,3 meter persegi
- Lama pembangunan: 18 bulan
- Lokasi: Bandung, Jawa Barat