Minggu, 2 April 2023

Mantan Kepala PPATK Yunus Husein Bicara Kejahatan Perbankan

- Sabtu, 24 Desember 2022 | 19:48 WIB
AHLI: Mantan Kepala PPATK Yunus Husein saat ditemui di Bekasi awal Desember lalu. (Salman Toyibi/Jawa Pos)
AHLI: Mantan Kepala PPATK Yunus Husein saat ditemui di Bekasi awal Desember lalu. (Salman Toyibi/Jawa Pos)

Meski tak lagi menjabat kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein tetap mengabdikan dirinya untuk memberantas kejahatan di sektor perbankan. Tak hanya diminta jadi ahli hukum perbankan di kasus-kasus TPPU, Yunus juga masih aktif mengajar di sejumlah universitas untuk kuliah banking law. Berikut perbincangan Jawa Pos dengan Yunus awal Desember lalu.

APA kegiatan Anda setelah tidak lagi menjabat kepala PPATK?

Dua tahun ini saya menjadi komite etik di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Rapat minimal sekali sebulan. Bisa juga lebih. Selain itu, saya banyak mengajar. Saya mengajar formal di lima universitas. Di Universitas Indonesia (UI) sejak tahun 1990. Saya mengajar untuk semua strata, S-1 sampai S-3. Kedua di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera mengajar untuk S-1.

Selain itu, saya aktif mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) di Jogja. Satu lagi di Universitas Sumatera Utara (USU), mengajar tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU). Lalu di Universitas Riau (Unri), mengajar banking law untuk pascasarjana.

Selain itu, apa kegiatan yang masih rutin dilakukan saat ini?

Yang paling banyak sebenarnya jadi ahli (hukum perbankan, Red). Diminta oleh KPK, kejaksaan, kadang-kadang polisi juga. Ada juga para pihak lain yang berurusan dengan kasus perdata. Mereka minta tolong, terutama kasus-kasus yang motifnya dikerjain lawan atau dikerjai penegak hukum.

Kalau ahli di KPK itu saya sudah sejak lama. Mulai dari kasus Djoko Susilo (mantan Kakorlantas Polri yang terjerat kasus korupsi pengadaan simulator SIM dan TPPU, Red) ke belakang boleh dibilang saya semua (yang jadi ahli di KPK). Termasuk Akil Mochtar (mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang terjerat kasus suap sengketa pilkada dan TPPU). Terakhir kasus Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi baru dimintai keterangan tentang pencucian uangnya.

Kejaksaan banyak juga. Seperti kasus Jiwasraya, ASABRI, hingga Surya Darmadi. Terus kasus LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) juga.

Bagaimana Anda melihat kasus-kasus kejahatan perbankan dan TPPU di Indonesia sejauh ini?

Cuci uang di Indonesia itu ada penilaian oleh PPATK dan berbagai instansi kementerian/lembaga. Namanya national risk assessment (NRA/penilaian risiko TPPU). Pencucian uang itu dilihat dari pidana-pidana yang melahirkannya. Nah, (NRA) yang paling tinggi itu masih korupsi, skornya 9 lebih. Di bawahnya ada kejahatan narkotika, perpajakan, lalu ada perbankan, lalu lingkungan hidup. Kemudian kalau (penilaian risiko) berbasis sektoral namanya sectoral risk assessment (SRA).

Laporan-laporan (NRA dan SRA) mencerminkan banyaknya pidana-pidana tadi. Kalau di Indonesia laporan (NRA dan SRA) banyak, seharusnya analisisnya banyak juga terkait itu. Kalau sudah begitu, penyidikan dan penuntutannya juga harus banyak. Tapi, yang bisa kita lihat sekarang nggak begitu nyambung. Ada semacam kabel yang terputus. Seharusnya, kalau banyak korupsi, itu (penyidikan dan penuntutan) mestinya menonjol. Tapi, itu nggak terlalu konsisten nyambungnya.

Bagaimana Anda melihat kejahatan korupsi di Indonesia?

Corruption perception index (indeks persepsi korupsi/IPK) kita (tahun 2021) 38. Sementara Timor Leste sudah 41. Kita sama Timor Leste saja kalah. Dari sepuluh negara di ASEAN, kita ini tiga negara (dengan skor IPK) paling bawah. Korupsi ada dari Sabang sampai Merauke. Dari TK sampai perguruan tinggi. Dari jalanan sampai kantor. Mana yang tidak ada korupsi?

Menurut Anda, sebetulnya di mana sumber masalah korupsi terbesar Indonesia?

Sumber masalahnya itu, mohon maaf, karena banyak orang partai dan politisi yang jadi sumber masalah. Kenapa demikian? Karena sering kali mereka tidak transparan. Tidak akuntabel. Dana pemilu mereka nggak ada transparansi. Demokratisnya juga kurang.

Sementara itu, kader yang lahir untuk memimpin daerah semua dari situ (partai politik). Kader lahir dari partai. Ujung-ujungnya tidak well governance. Bad governance malah. Selama sumber masalah ini tidak dibersihkan, pasti masalah korupsi tidak akan pernah berhenti.

Mau dikaitkan, misalnya kasus hakim agung yang menjadi tersangka di KPK belum lama ini. Itu menurut saya salah pada fit and proper test di DPR. Kenapa? Di sana kalau nggak pakai ”sesajen”, ”sponsor”, nggak bakal jadi. Saya sudah pernah ketemu dengan orang yang gagal karena dimintai duit begitu.

Setelah tidak lagi menjabat, apa yang paling Anda rindukan dari PPATK sekarang?

Waktu itu saya memulai PPATK dari nol. Mendirikan PPATK dengan tujuan mencegah dan memberantas kejahatan pada umumnya. Salah satu caranya adalah dengan mengejar uangnya. Itu prinsip pemberantasan TPPU.

Saya mulai di PPATK itu dengan dua orang staf saja. Terus dapat pinjaman tenaga dari Bank Indonesia (BI) kurang lebih 12 orang. Terus saya rekrut beberapa orang. Terus dikasih duit Rp 8 miliar. Dikasih pinjam tenaga, dikasih kantor di lantai 4 di Kebon Sirih. Itu tahun 2002.

KARIER YUNUS HUSEIN

- Menjabat kepala PPATK pada 2002–2011

- Konseptor dan perintis pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2012

- Mengajar ilmu hukum perbankan (banking law) di lima universitas: Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Riau (Unri), Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera

- Langganan menjadi ahli/pakar hukum perbankan untuk KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri

- Komite Etik OJK sejak dua tahun terakhir

Sumber: Yunus Husein dan diolah dari berbagai sumber

Editor: Dhimas Ginanjar

Tags

Terkini

Sari Yok Koeswoyo dan Episode Melukis Wayang

Sabtu, 11 Maret 2023 | 19:04 WIB

Soleman B. Ponto: Jadilah Robot, Jangan Ambil Risiko

Senin, 14 November 2022 | 15:01 WIB
X