PROF Warsono menapaki jalan yang cukup panjang di dunia akademik. Sebelum terpilih sebagai rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) pada 2014–2018, pria kelahiran Boyolali itu pernah menjabat dekan Fakultas Ilmu Sosial Unesa pada periode 2006–2010. Selanjutnya, dia mengemban amanah sebagai wakil rektor III Unesa pada 2010–2014. Pria yang kini duduk di Dewan Pendidikan Jawa Timur (Jatim) tersebut menekankan pentingnya perlindungan terhadap guru agar semakin profesional dalam mengajar. Kepada Jawa Pos, dia menceritakan konsepnya.
Bagaimana kabar dan kondisi Bapak saat ini?
Sehat dan bugar. Saya selalu meluangkan waktu untuk olahraga tiga kali sepekan. Favorit saya adalah main tenis. Kalau tidak bisa berolahraga pada hari kerja, saya pasti meluangkan waktu di akhir pekan. Selain itu, saya harus peka dengan kondisi tubuh. Harus tahu kapan waktunya istirahat.
Kesibukan yang dijalani saat ini seperti apa?
Saat ini saya masih rutin mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa. Memang cukup banyak SKS yang saya ampu semester ini. Jadi, sejak Senin hingga Jumat, pasti ada kelas yang diisi. Selain itu, saya menjalani amanah di Dewan Pendidikan Jawa Timur bersama beberapa kawan.
Boleh diceritakan bagaimana pengalaman saat menjabat rektor Unesa pada 2014–2018?
Menjadi rektor itu amanah, itu prinsip saya. Ada beban yang harus diselesaikan, bagaimana membangun secara fisik dan akademik. Saat itu saya dikenal sebagai rektor yang pelit, hahaha. Sebab, saya cukup kritis dan menekankan efisiensi terkait dengan pengelolaan dana universitas. Kalau bisa rapat di Surabaya, untuk apa keluar kota? Tapi, kami berhasil mendirikan beberapa fasilitas baru dengan dana pribadi universitas.
Selain itu, peningkatan akreditasi dikejar. Saat itu Unesa masih terakreditasi B dengan 10 prodi berakreditasi A. Untuk mencapai mimpi menjadi PTN BH (perguruan tinggi negeri badan hukum, Red), akreditasi harus dikejar. Hasilnya, dalam empat tahun saya menjabat, jumlah prodi berakreditasi A naik dari 10 prodi menjadi 64 prodi. Melebihi target 60 persen dari total 93 prodi saat itu.
Mewujudkan PTN BH bukan hal mudah, ya?
Status PTN BH mendorong PTN layaknya perguruan tinggi swasta. Kita harus mandiri. Akreditasi yang bagus ini bentuk meyakinkan masyarakat, bentuk pertanggungjawaban kualitas institusi. Kalau masyarakat yakin, mahasiswa yang terjaring juga merupakan input berkualitas.
Di sisi lain, kampus harus mampu mencari pemasukan lain agar tidak bergantung pada anggaran pemerintah pusat dan UKT dari mahasiswa. Jadi, pengelola universitas harus siap memperbaiki manajemen. Harus belajar tentang sisi kewirausahaan juga. Tentunya tanpa meninggalkan peran pendidikan yang kita jalani, ya.
Apa yang paling dirindukan semasa menjabat?
Sebenarnya menjadi rektor itu hanya salah satu cara. Saat ini cara yang saya manfaatkan masih ada. Yaitu, mengajar, menulis, menjalani peran di dewan pendidikan, dan berdiskusi dengan banyak orang. Itu yang saya jalani agar saya bisa terus belajar sekaligus berkontribusi dalam masyarakat.
Bagaimana tanggapannya tentang RUU Sisdiknas yang saat ini ramai dibahas?
Kami sebagai Dewan Pendidikan Jatim sudah melakukan focus group discussion dengan para kepala sekolah dan dinas terkait untuk mencari aspirasi. Kami melihat ternyata apa yang didiskusikan selama ini sejalan kok.
Ada rekomendasi yang perlu menjadi perhatian dalam RUU Sisdiknas?
Pertama, kami menyampaikan rekomendasi tentang metode pembuatan UU. Dibantu juga pandangan dari sisi hukum. Pembuatannya ini menggunakan metode omnibus law, tapi kok dalam perjalanannya tidak sesuai dengan omnibus law? Ini termasuk yang kami kritik.
Kedua, secara substansial tentu kami menyampaikan banyak hal. Termasuk tentang pentingnya perlindungan terhadap guru. Yaitu, mengatasi sengketa di sekolah. Selama ini kami dapat keluhan bahwa guru diburu aparat hukum dan LSM (lembaga swadaya masyarakat). Saat ada kasus kekerasan sedikit saja, langsung masuk jerat pidana.
Idealnya seperti apa perlindungan yang dimaksud?
Dalam metode pendidikan, ada yang namanya reward and punishment. Tentunya disesuaikan dengan setiap anak. Ini yang kemudian sensitif sebagai kekerasan kepada murid. Nah, perlindungan untuk guru seharusnya tidak langsung jadi tindak pidana. Seperti pers saja, ada mekanisme sendiri terkait dengan profesi. Ada Dewan Pers. Begitu juga beberapa profesi lain, ya. Kalau ada pelanggaran, ya bisa dengan pecat secara tidak hormat. Bergantung kadar pelanggarannya. Ini yang perlu dirumuskan.
Terkait dengan kesejahteraan guru, ada pasal penghapusan tunjangan profesi guru. Bagaimana tanggapannya?
Kita harus lihat moral dan peran guru dalam masyarakat. Guru itu bukan profesi menurut saya. Dia adalah status dan kemuliaannya sangat tinggi. Sebab, dia tidak mencetak bangunan, membuat barang, tapi menyampaikan ilmu, membuat seseorang bisa berperan dalam masyarakat. Tidak ada profesi lain tanpa peran guru dan pendidikan di dalamnya.
Ini seharusnya yang dinilai dengan tinggi. Gaji guru terikat bukan pada ”ini profesi”, melainkan tentang kemuliaannya. Di Kanada, sempat ada keributan saat standar gaji guru dinaikkan. Tapi, mereka berani menekankan bahwa guru memang punya peran mulia. Sekarang mereka sudah menerima kebijakan tersebut.
TENTANG PROF DR WARSONO MS
- Lahir di Boyolali, 19 Mei 1960
- Menuntaskan pendidikan S-1 jurusan ilmu filsafat di Universitas Gadjah Mada
- S-2 jurusan ilmu lingkungan di Universitas Indonesia
- S-3 jurusan ilmu sosial di Universitas Airlangga
KIPRAH
- Ketua Jurusan Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) Unesa pada 2002–2006
- Dekan Fakultas Ilmu Sosial Unesa periode 2006–2010
- Wakil rektor III Unesa 2010–2014
- Rektor Unesa 2014–2018
- Ketua Dewan Pendidikan Jatim 2022–2026