Minggu, 2 April 2023

Mencintai Munir Berarti Mencintai Keadilan dan Kebenaran

- Sabtu, 10 September 2022 | 19:48 WIB
Suciwati. (Suciwati untuk Jawa Pos)
Suciwati. (Suciwati untuk Jawa Pos)

Tanggal 7 September menjadi lonceng pengingat bagi Suciwati atas kematian suaminya, Munir Said Thalib, seorang aktivis hak asasi manusia (HAM). Sudah 18 tahun berlalu, Suciwati terus berkali-kali mendesak Komnas HAM maupun Polri untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir sampai ke dalangnya. Tidak sekadar mengungkap aktor lapangan. Melalui buku Mencintai Munir yang baru selesai ditulis, Suciwati mengenang sosok aktivis yang meninggal karena diracun itu. Berikut petikan wawancara Suciwati dengan Jawa Pos.

---

BUKU Mencintai Munir menjadi karya pertama Anda. Apa poin-poin penting yang ada dalam buku tersebut?

Meski sudah meninggal, sampai sekarang Munir itu masih diserang dengan narasi yang jahat. Misalnya, Munir tidak nasionalis atau Munir pengkhianat bangsa. Antek asing dan lain-lain. Padahal, Munir itu sangat mencintai Indonesia. Dia selalu mendorong semua orang untuk terus bekerja profesional untuk rakyat Indonesia. Dan, tentunya semua berbasis hak asasi manusia (HAM).

Nah, dalam buku Mencintai Munir, kurang lebih saya ingin menyampaikan itu. Juga ingin menyampaikan bahwa Munir memperjuangkan hak-hak rakyat sebagai pemilik konstitusi. Itulah kenapa Munir selalu menentang jika ada politisi yang ’’mengundang’’ tentara untuk masuk ke kekuasaan. Sebab, tentara (dalam konstitusi) itu harus di luar kekuasaan.

Selain itu, apa lagi?

Dalam buku itu juga saya ingin sampaikan bahwa Munir hanya manusia biasa yang sederhana. Dia punya rasa takut. Kadang bisa menjadi sangat pemarah, tapi juga kadang-kadang dia sangat lucu. Sifat-sifat manusiawi itu dia tempatkan sesuai substansi. Ada banyak sisi humanis yang mungkin orang lain belum tahu secara detail.

Kenangan apa yang paling sulit Anda lupakan dari sosok Munir?

Sampai detik ini saya belum menemukan sosok yang sepadan dengan Munir. Bagi saya, Munir itu tidak ada duanya. Itulah kenapa saya begitu sangat kehilangan ketika Munir meninggalkan kami semua. Jujur, itu pukulan terberat dalam kehidupan saya.

Munir selalu mengajarkan kepada semua orang bahwa bekerja itu harus total. Terutama dalam mendampingi atau mengadvokasi korban. Saya tahu betul bagaimana Munir begitu mengutamakan kepentingan korban ketika pendampingan. Itu yang belum saya temukan dari teman-teman NGO (non-government organization). Belum ada orang-orang NGO yang totalitas mendampingi korban seperti yang pernah dilakukan Munir.

Dari mana Munir belajar tentang kesederhanaan?

Satu hal yang sampai saat ini masih membekas dalam ingatan saya tentang kesederhanaan itu. Suatu ketika, saya pernah masukin uang ke dompetnya karena saya tahu di dompetnya hanya ada uang Rp 20 ribu. Ketika tahu, Munir langsung menolaknya, dikeluarin uang yang saya masukin ke dompetnya itu.

Dia bilang sama saya, uang Rp 20 ribu itu cukup kok buat satu minggu. Saya pikir, ini kegilaan apa? Saya nggak bisa membayangkan Rp 20 ribu cukup buat seminggu. Munir nggak punya kartu ATM pada saat itu, makanya saya khawatir kalau ada kenapa-kenapa di jalan. Tapi, dia tetap nggak mau ditambahi. Dia bilang cukup. Buat saya, itu luar biasa sekali. Mungkin sedikit sekali orang yang kayak Munir.

Jika Munir masih hidup sekarang, apa yang mungkin dia lakukan ketika melihat masalah sosial saat ini?

Munir ini orang yang nggak bisa diam kalau ada kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat. Seperti kebijakan kenaikan harga BBM yang baru-baru ini diumumkan, Munir sudah pasti akan cari tahu kenapa kok bisa naik? Dia akan kejar informasi-informasi yang bisa menjawab tentang persoalan itu. Produksinya seperti apa, distribusinya bagaimana, dan seterusnya.

Terkait masalah apa pun, Munir selalu berpikir untuk memperbaiki bangsa ini. Sama halnya ketika dia mengkritisi tentara pada zaman Soeharto. Itu berawal dari persoalan sosial yang terjadi di masyarakat. Dia mencari tahu dengan masuk ke ruang-ruang kekuasaan. Bahkan sampai mencari tahu bagaimana bisnis militer, termasuk bagaimana kesejahteraan tentara itu sendiri.

Kekritisannya terhadap tentara tersebut sebenarnya bentuk rasa cintanya terhadap tentara. Menurut dia, tentara itu tiang keamanan negara yang harus diperkuat dengan kesejahteraan prajurit. Tapi, tidak berarti kesejahteraan tersebut diperoleh dengan membuat bisnis militer. Itu yang ingin dia sampaikan.

Kasus pembunuhan Munir sampai saat ini belum tuntas, apa tanggapan Anda?

Kami sudah berkali-kali mendesak untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir sampai ke dalangnya. Tidak sekadar mengungkap aktor lapangan. Dan, itu sudah jelas disebutkan dalam putusan pengadilan bahwa Pollycarpus Budihari Priyanto tidak bekerja sendiri. Ada pelaku pembantu, ada pemberi akses, bahkan ada inisiatornya. Itu jelas sekali disebutkan.

Dalam hal ini, saya ingin meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk turun dan mengungkap kasus pembunuhan Munir. Sebab, berkaca pada kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Polri bisa mengungkap perwira tinggi polisi. Bahkan, Komnas HAM ikut sibuk melakukan pemantauan dan penyelidikan. Itu hebat sekali. Karena itu, saya berharap kasus pembunuhan Munir juga mendapat perhatian yang sama.

Apa harapan Anda untuk pengungkapan kasus pembunuhan Munir?

Seharusnya Komnas HAM langsung memutuskan bahwa pembunuhan ini pelanggaran HAM berat. Kenapa? Karena sudah jelas diakui bahwa ada keterlibatan negara dalam pembunuhan Munir. Ada opini hukum dari ahli yang bisa dijadikan acuan.

Tapi, sepertinya Komnas HAM mengulur-ulur waktu sehingga membuat kasus ini terkesan ingin ditutup, tidak diungkap. Makanya, saya berharap Kapolri bisa membuka secara terang kasus pembunuhan Munir seperti mengungkap kasus pembunuhan Yosua. Kita kan semua tahu awalnya pembunuhan Yosua diskenariokan sebagai tembak-menembak, tapi akhirnya terungkap bahwa ternyata Sambo pelakunya.

MENGENANG MUNIR KARIER AKTIVIS MUNIR

• Mendirikan KontraS pada 1998

• Menjadi direktur Imparsial

• Menjadi pemenang Right Livelihood Award pada 2000

TENTANG BUKU MENCINTAI MUNIR

• Bahan tulisan dikumpulkan sejak menikah hingga persidangan Munir.

• Buku ditulis selama tujuh bulan.

• Dibutuhkan effort yang tinggi untuk menulis. Sebab, Suciwati harus mengelola emosi.

• Satu minggu sekali, Suciwati menarget diri sendiri untuk menulis paling sedikit 10 halaman.

Editor: Dhimas Ginanjar

Tags

Terkini

Sari Yok Koeswoyo dan Episode Melukis Wayang

Sabtu, 11 Maret 2023 | 19:04 WIB

Soleman B. Ponto: Jadilah Robot, Jangan Ambil Risiko

Senin, 14 November 2022 | 15:01 WIB
X